Terlihat awan yang membentuk lafadz Allah itu
pergi dengan hembusan angin di udara. Ku mulai berdiri dari bayangan cerita
dulu dan renungan di atas batu ini. Perasaanku kembali seperti biasa, seperti
sesosok orang mulai dewasa. Ku angkat beban tubuh ini dari rebahan tidurku di
atas batu sebelum ku berdiri. Sambil memegang kedua lutut dan melihat sekali
lagi ke atas langit biru di atas batu, ku tersenyum dan merasa senang campur
sedih. Sedih bukan karena kehilangan tapi karena indahnya cerita dulu yang
masih sampai saat ini kurasakan. Sampai ku terbayang di saat melihat anak anak
jaman sekarang mempunyai prilaku seperti ku dulu. “Hahhhh”, keluar hembusan
perlahan udara dari mulutku setelah ku narik panjang napas.
Aku pun berdiri dan pergi melanjutkan
perjalananku. Perjalanan yang akan selalu melengkapi kisah hidup ini.
“Batu terima kasih kau sudah mau menjadi tempat
aku untuk membayangkan kisah dulu”, kalimat pamit dari mulutku terucap dengan
begitu manis. Semanis madu seperti kisahku dengannya dulu.
Beberapa menit ku meninggalkan batu itu aku
terdiam dan berkata, “eh kok aku lupa ya, tadi aku mau pergi kemana”, sontak ku
terdiam bingung dengan tujuan awalku.
Akhirnya aku mengambil keputusan untuk pergi ke
Masjid, karena waktu juga sudah menunjukkan pukul 11.40 WIB sebentar lagi akan
berkumandang adzan dzuhur. Belum sampai masjid tiba tiba hujan turun dengan
lebat, untungnya jarak aku dengan masjid hanya lima meter. Jadi, aku bisa
menerobos rintikan hujan yang sangat rapat dengan berlari cepat. Adzan pun
berkumandang dengan alunan adzan yang sangat merdu dari seorang mahasiswa
Institut Pertanian Bogor. Adzan itu mengingatkanku akan seorang teman kelas
saat di bangku sekolah menengah atas dulu. Lutfi. Itulah sebuatan namanya.
“Dia itu … , tunggu. Sepertinya kalau bercerita
tentang dia sambil membayangkannya seperti di atas batu tadi, aku akan
ketinggalan shalat berjamaah awal waktu”, gumam dalam pikiranku.
“Ya sudah aku ambil wudhu. Cerita tentang dia
nanti saja di lain waktu”, gumam dalam pikiranku lagi.
Shalat berjamaah itu pun aku lakukan dengan
khusyu dan sebaik-baiknya. Seperti kata temanku, ‘Kamu akan merasakan shalat
khusyu saat di antara waktu shalat sekarang dan sebelumnya tidak melakukan
maksiat atau dosa’. Mungkin benar yang dikatakan temanku, itulah yang membuatku
merasakan ke khusyuan di shalat dzuhur ini.
Dua puluh menit terlewati, aku pun pindah ke
belakang lantai utama Masjid untuk beristirahat sambil bertilawah. Belum lama
ku membaca Al quran (mushaf), ku merasakan rasa ngantuk yang besar. Terasa
berat kelopak mata ini, apakah ini godaan setan?. Akan tetapi, aku tak mampu
berpaling dari rasa ngantuk ini ku tertidur dengan memegang mushaf di dadaku.
Tidurku sangat pulas sampai waktu tidak terasa sudah hampir masuk waktu shalat
ashar.
Eh eh eh kok aku tertidur ya waktu itu. Terus
ceritanya? Lanjutan cerita di batu? Siapa lutfi?. Oke fix berarti saat itu aku
tidak membayangkan kisah saat masa masa remajaku dulu. Next.
Singkat cerita. Saat ku pulang ke rumah karena
libur semester kuliah, aku mulai membayangkan kisah itu kembali. Sebuah
genangan air dangkal indah sang penyemangat hidup kembali terbayang di dalam
otakku. Aku pun ambil handphone dan segera membuka akun facebook untuk
melihat kabarnya. Kabar tentangnya yang sampai pada telingaku beberapa tahun
lalu sangat sedih, membuat aku merasa kasihan dan ingin menjadi seorang
pahlawan seperti di film-film india. ‘Saat wanita itu sedang bete, sang kekasih
melemparkannya ke dalam air padahal dia tidak mau melakukan itu dia hanya ingin
diam dan duduk. Akan tetapi wanita itu pun sudah di dalam air kolam dengan
ditertawakan oleh semua tamu pada saat itu. Seorang laki-laki pun yang sudah
kenal dekat dengan dia turun ke air kolam itu dan melepaskan kemeja pelayannya
untuk wanita di air kolam tersebut dan mengajaknya naik ke atas’. Itulah resume
film india adegan tersebut. Terharu campur aduk saat itu, saat aku menonton
film tersebut. Itulah tontonan jamanku dulu saat masa-masa sekolah menengah
pertama. Mungkin ceritaku ingin menjadi pahlawan kurang lebih seperti film
tersebut.
Sungguh disayangkan mendengar kabar tersebut.
Kenapa harus berpisah seperti itu?. Aku coba cari di tempat pencarian, karena
waktu itu teman di facebook ku banyak dan dia jarang aktif jadi sulit
jika dicari di ‘Teman’. Aku ketik nama dia dan belum juga muncul. Aku ketik
kembali dengan kunci nama yang lain. Akhirnya ketemu dan alhasil dia sudah
tidak aktif beberapa bulan yang lalu. Postingan terakhirnya adalah ucapan
selamat malam dan kata kata lain di ‘Beranda’ yang kulihat. Aku pun membuka
‘Foto’nya dan terlihat persis media untuk tulisan cerita ku dulu sama tidak ada
perubahan. Perasaan tak jelas itu muncul kembali dan membuatku (diam, menarik
napas, dan menghembuskan napas perlahan-lahan). Entahlah. Aku orangnya terlalu
banyak di bawa perasaan. Kadang selalu ku pasrahkan keadaannya pada Allah SWT
dan selalu mendoakannya untuk selalu sehat dan bahagia. Tapi, ya sudahlah dia
sudah jadi milik orang lain. Masih banyak orang lain disana yang ku percaya
akan lebih indah cerita nya, cerita hidup ini dengan seseorang di luar sana.
Mungkin yang sering ketemu, teman dekat, teman dulu, teman yang akan datang,
yang sering chatan, yang sering ngobrol dan selalu memberi semangat atau yang
membaca cerita ini dan mengontak kamu. Bisa jadi dialah yang akan menjadi
pengganti genangan air indah dan manis itu. Yang aku butuhkan hanyalah
kepercayaan dan niat hanya untuk Allah SWT.
Selalu aku buka akun ‘Beranda’nya berharap
sebuah kerang berisi berlian, tapi alhasil hanya kerang yang tak berisi dan
bertuan. Sudahlah aku putuskan untuk tidak lihat akun facebook nya. Waktu pun
semakin melaju dengan sendirinya, aku lepaskan genggaman tangan ini dari sebuah
handphone yang sejak 2 jam aku pegang dan aku hiraukan semua yang ada di
sekitar. Akan tetapi, tidak hanya berhenti disitu. Ternyata sebuah perasaan
tidak dapat dipungkiri dan dibohongi, aku pun selalu melihat tempat genangan
air indah itu setiap aku pergi ke Masjid Al Furqon maupun ke rumah teman.
Kadang suatu ikatan itu sulit untuk dilepaskan. Kenapa?. Karena ikatan itu
telah ditulis dalam sebuah doa yang senantiasa dilantunkan tiap bersujud dan
menghadap-Nya. Sehingga tidak dipungkiri lagi aku selalu mengingatnya sampai
saat ini. Mungkin ini suatu kesalahanku? Atau juga ini suatu ketentuan-Nya?.
Back to story in Junior High School 6 last ago.
Setiap pagi ku siapkan segalanya untuk menjalani rutinitas seorang pelajar
mulai dari sarapan, mandi, persiapan alat tulis sampai pakaian rapi dan
bermodel seperti orang keren tapi tetap berpakaian disiplin karena aku juga di
amanahkan sebagai ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah di SMP ku tercinta yang
harus selalu rapi dan berwibawa. Itu semua berharap dia melihat ku dan
tersenyum manis (Astaghfirullah).
Ku langkahkan kaki ini dengan sapaan pagi yang
indah, terucap sebuah kalimat dan senyuman penyejuk hati saat ku mulai pergi.
“Assalamu’alaykum”, terucap dari mulutku ucapan salam kepada nenek dan kakek
yang setia menjagaku sampai menginjak umur belasan tahun. Tidak lupa sebelum
ucapan itu terlontarkan, tangan kecil ini ku angkat dan ku ambil tangan nenek
kakek sambil ku cium tangan mereka dengan berdoa dalam hati, ‘semoga aku
mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan mampu membahagiakan mereka saat aku sukses
nanti. Amiin’.
Tidak seperti orang lainnya, aku mungkin
terbilang anak yang baik dan sabar
(bukan sombong yaa). Di saat mereka berangkat sekolah menggunakan kendaraan
roda dua, aku berangkat menggunakan kaki yang tak beroda. Jadi, kecepatannya
mungkin hanya beda 3 meter per langkah. Hmm. Tapi santai kaki ini lebih aman,
kuat dan awet. Sesekali aku juga diajak oleh tetangga atau teman yang
alhamdulillah se arah dengan jalan menuju sekolah ku. Langkah ini semakin
melaju bersama detikan jam yang seirama dengan langkahku. Langkah menuju sebuah
kesuksesan yang akan mengantarkanku kepada sebuah cahaya keindahan.
Kembali ke ‘dia’. Dia?. Iya, genangan air
dangkal indah itu. Tinta darah ini semakin enak untuk ku tuliskan di atasnya.
Saat ku tulis, seketika tintanya menyebar dan semakin bersatu. Pagi itu, entah
kebetulan atau memang sehati ‘eeaa’, ku bertemu dengan dia saat aku berjalan
bersama temanku. Akan tetapi, dia berjalan dengan cepat karena mungkin waktu
udah mulai siang dan dia juga sudah ditunggu teman perempuannya. Jadi, aku mengerti
dengan keadaannya dan membiarkannya berjalan terlebih dahulu. Biasa anak
pengertian padahal dalam hati malu dengan teman-teman lain. Malu bukan karena
jalan bareng dengannya tapi karena takut aku tak mampu berkata kata disamping
dia. ‘Yaelah, gitu aja malu’. Jika ku kaji saat ini, malu saat kejadian
tersebut merupakan suatu cara untuk menghindarkan dari rasa hawa nafsu karena
masa-masa itu gangguan setan sangat kuat. Sehingga kalau kita tak mampu
menahannya itu dapat membuat hal yang tidak diinginkan terjadi. So, aku selalu
menjauh sementara di ruang publik dan keadaan tertentu.
Sesampainya di sekolah, pagi itu kegiatan rutin
kami adalah senam pramuka. Saat itu senam pramuka rutin setiap hari selasa
bergiliran dengan senam SKJ. Seorang pembantu guru yang mempunyai jabatan cukup
tinggi di sekolah, aku dan teman OSIS memeriksa tiap kelas untuk memeriksa
apakah para siswa sudah ke lapang semua atau belum. Sampailah di kelasnya, aku
menanyakan dia pada temanya yang belum ke lapang, “Yuni sudah ke lapang?”.
Temannya pun menjawab, “sudah kak”. “oke. Kamu juga cepat ke lapang ya.
Senamnya sudah mau di mulai tuh”, jawabku sambil mengajaknya. Senam pun
berlangsung dengan lancar, meskipun di daerah belakang para siswa yang so
keren-keren dan sangar tidak mengikuti dengan baik senam pagi itu. Aku pun
sensi dengan prilaku mereka yang tidak mau mengikuti senam padahal senam kan
dapat membuat tubuh sehat. Betul gak?. Senam pun selesai pada pukul 7.30 an.
Saatnya semua siswa untuk berbaris di depan kelasnya masing-masing dengan rapi
sekaligus penyampaian informasi dari guru di kantor. Aku yang saat itu kebagian
keliling memeriksa kerapihan siswa dan kelas bersama beberapa teman osis
lainnya menemukan pakaian-pakain laki-laki yang belum dimasukkan celana dan
juga sabuk yang tidak sesuai dengan SOP sekolah. Akhirnya kami suruh mereka
memasukkan celananya dan mengambil sabuknya untuk diserahkan ke guru.
Sampai di kelas 8.A. Kelas dimana dia belajar,
aku merasa kaget dan pipiku menjadi merah karena teman-teman perempuan dia
mengucapkan kata ‘cieee’ bersamaan. Sontak aku semakin bertingkah dan senyum
malu. Apalagi dia barisnya di depan sehingga tugasku memeriksa kerapihan siswa
dan kelas menjadi tidak efektif. Akhirnya aku langsung berjalan ke kelas
berikutnya. Sampai di kelas terakhir, aku dan temanku langsung menemui guru dan
melaporkan mengenai hasil pemeriksaan yang kami lakukan. Karena tidak ada yang
melakukan kesalahan yang berlebih, siswa pun diperbolehkan masuk dengan
ditandai bunyi bel yang keras dari kantor. Kegiatan belajar mengajar pun
berjalan dengan lancar. Tidak terasa waktu pulang menghampiri dan seperti
melambai-lambaikan tangannya untuk menemani kami menuju rumah. Akhirnya bel
pulang pun berbunyi seketika kelas yang tidak ada guru berhamburan keluar
seperti terjadi gempa yang semua orang terlihat panik dan belari menuju tempat
terbuka. Kegiatan belajar di kelas kami pun diakhiri oleh pak guru dan
dipersilahkan untuk berdoa sebelum pulang. Setelah berdoa aku pun langsung
pulang dan terlihat dia sudah berjalan dengan temannya untuk pulang lewat jalur
yang berbeda. Aku pun membiarkannya lagi. Oh iya, kenapa dibiarkan?. Iya, aku
takut guys. Takut dibilang ‘cieee’ dan dikata-katain lagi karena semakin banyak
orang yang bilang begitu semakin takut aku bersama dia lagi khusunya di tempat
publik atau banyak orang. Okelah. Aku pun pulang bersama teman-teman lainnya
dengan penuh bekal ilmu yang didapatkan hari ini.
Ilmu yang mungkin kita tidak lihat dan
berdampak hari ini secara langsung, tapi akan berdampak kelak nanti saat kau
menikmati perjalanan lika liku menjadi orang sukses. Saat itulah dampak ilmu
itu akan kamu rasakan. Ilmu yang ku dapatkan hari ini mungkin kebanyakan ilmu
tentang dunia. Akan tetapi, ilmu dunia jika kita niatkan untuk mencari ridho
Allah pasti akan menjadi penolongmu di akhirat nanti. Amiin yaa rabbal alamiin.
“Seandainya
keutamaan ilmu hanyalah kedekatan pada Rabbul ‘alamin (Rabb semesta alam),
dikaitkan dengan para malaikat, berteman dengan penduduk langit, maka itu sudah
mencukupi untuk menerangkan akan keutamaan ilmu. Apalagi kemuliaan dunia dan
akhirat senantiasa meliputi orang yang berilmu dan dengan ilmulah syarat untuk
mencapainya” (Miftah Daaris Sa’adah, 1: 104).
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar