Terlintas dalam benakku sebuah pertanyaan yang dapat dikatakan pesimis menjalani hidup, apakah ini hidup?. Dengan tidak ditemani keindahan dalam tubuhku. Hanya garis yang aku dapatkan, hanya kumpulan titik yang aku terima. Tapi ini! Inilah aku orang yang tak berwarna.
Saat aku kecil, aku hanya seorang anak aneh. Teman saja tidak punya. Memang saat itu aku bukan tipe orang penyerah, aku selalu berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan semua yang aku inginkan. Dan saat ini, orang tuaku sudah tidak ada. Menurutku, mereka adalah sesosok orang yang sempurna dan penuh kasih sayang. Bukan karena aku dimanja, aku berkata seperti itu. Akan tetapi, itu suatu insting atau perasaan yang aku miliki. Sampai saat ini insting atau perasaan itu masih aku miliki dan aku yakini. Bahwasannya kesempurnaan dan kasih sayang itu akan lahir dan tumbuh ditubuhku ini.
"Hahaha anak aneh! anak aneh! anak aneh!" teriak beberapa anak kecil jauh di sebrang taman. Aku hanya terdiam bisu dengan menghiraukan mereka. Tidak terlihat sama sekali rasa sedih dan rasa marah yang muncul di raut wajahku ini. Sesekali aku mengucapkan "Hai" kepada mereka dan sesekali juga aku selalu tersenyum sambil jalan saat mendengarkan mereka berkata seperti itu. Sesampainya aku di sebuah ruangan, terlihat semua anak-anak sudah memulai pelajaran mengenai tehnik jurus baru dari seorang guru ninja. Dia keren, tinggi badan 160 cm, dan terlihat ada goresan luka di batang hidungnya. Sesekali guru itu memberikan kuis yang tak aku sukai. Kuis itu membuatku sangat boring dan annoying. Padahal itu adalah waktu pertama kalinya aku sekolah setelah libur yang panjang.
"Apakah yang kalian lakukan saat di rumah kemarin?", guru itu bertanya.
"Membantu ibu pak", jawab anak perempuan di ujung samping kiriku
"Bermain dengan kakak", sahut anak laki-laki di depanku
"Memancing dengan ayah", jawab anak laki-laki yang sambil makan makanan ringan di sebelah kanan laki-laki didepanku.
"Kalau aku, belajar bernyanyi bersama adik", keluar dari mulut seorang anak kecil berambut pirang di bangku terdepan.
Sesekali aku lihat keseruan tawaan dari mereka saat temannya menyebutkan kegiatan di rumah mereka hari kemarin. Tatapanku kini ku kembalikan lagi ke sebuah jendela besar berwarna biru, terlihat burung-burung dan awan-awan yang berterbangan di atas langit biru.
"Hai kamu! anak berambut kuning" tanya guru itu padaku.
"oh iya pak, ada apa?" seketika perasaanku kaget di saat aku sedang memandang indahnya langit biru bersama dengan aksesorisnya dunia.
"Apa yang kamu lihat?" tanya dengan serius guru itu.
"Masa Depan", jawabku dengan lantang.
"Masa depan?", terlihat wajah aneh pada guru itu seakan-akan dia menyepelekan makna suatu kata masa depan dari bocah yang selalu sendiri.
"Hahahah! dasar anak aneh", teriak anak-anak di samping anak berambut pirang.
"Maksud kamu apa?", tanya kembali dari seorang guru di depan dengan posisi berdiri.
"Gak ada apa apa pak", aku pun semakin tidak semangat jawab saat aku dikatakan anak aneh lagi oleh anak lain.
"Ayolah jawab, jangan malu-malu. bapak sekali lagi mau nanya, apa makna dari Masa Depan yang kamu katakan tadi?", tanya guru itu dengan sebelumnya memberikan sedikit motivasi supaya berani untuk bercerita.
"Masa Depan adalah kita punya teman. Apapun yang terjadi aku akan berusaha untuk menjadi orang yang kuat dan mampu memberikan tempat untuk teman-temanku di saat mereka sedang berlari dari musuh. Awan itu aku lihat dia begitu sangat tenang bergerak dan sesekali mereka mengeluarkan salah satu hidayah yang sangat indah yaitu hujan. Hujan tersebut akan semakin indah dengan mengeluarkan sebuah pelangi yang tampak jelas. Aku pengen seperti itu apapun yang terjadi. Meskipun saat ini aku jauh sekali dari Masa Depanku itu", jawab dengan hati terdalamku.
"Teng teng teng!!", bunyi bel pulang pun semakin nyaring berdering di saat guru itu sepertinya akan melanjutkan pertanyaannya lagi.
Aku pun keluar dari ruangan itu tidak ada sama sekali perbedaan raut wajahku di saat aku masuk dan aku keluar ruangan. Aku terus berjalan menyusuri lorong berdinding taman yang sering aku lewati. Sesekali aku lihat kanan kiri dan lihat anak-anak sedang bermain bersama-sama. Sejenak langkahku terhenti saat pandangan ini menengok pada seorang anak perempuan yang duduk berdiam diri di atas sebuah besi berlubang berukuran besar. Aku hanya berdiri melihat anak perempuan itu. Akan tetapi, aku merasa penasaran "siapakah dia?, kenapa dia hanya berdiam diri di tempat yang sepi? sedangkan teman teman yang lain sedang bermain bersama-sama",
"Kamu lagi apa?", tanyaku dengan penuh penasaran.
"Tidak lagi apa-apa", jawab anak perempuan itu dengan suara pelan dan malu-malu.
"Kenapa kamu tidak bermain dengan teman-temanmu?", tanyaku lagi.
"Hah? teman. hmm..", jawab anak itu
Aku pun semakin heran dengannya kenapa dia hanya duduk sendiri dan jawaban-jawaban yang singkat membuat aku bingung dan merasa aneh. Tapi tidak masalah, aku pun pamit untuk pulang terlebih dahulu. Sambil aku pamit pada anak perempuan itu, aku pun pulang. Beberapa jam kemudian, sampailah aku di rumah.
Saat aku mau duduk di atas ranjangku. Aku mendengar ada kata suara minta tolong dari luar. Selain itu, aku juga merasakan suara bangunan yang rubuh 100 meter dari rumahku. Aku pun langsung berlari ke luar melihat kejadian apa yang sebenarnya terjadi di luar rumahku saat ini. ternyata setelah aku lihat suara teriakan tersebut dari anak perempuan yang aku temui di sekolah tadi. Dia bersama teman-temannya dijadikan sandra oleh seorang penjahat berbadan besar yang membawa senjata gada untuk berusaha kabur dari tangkapan polisi dan amukan masa karena penjahat itu sudah mencuri uang dari sebuah bank dan penghancuran ruko tempat aku sering membeli makan disana. Para polisi dan warga pun hanya diam menunggu suatu keajaiban akan menyerahnya penjahat itu, sambil polisi bersiap siaga di luar gedung bank dengan peralatan senjata seadanya.
Aku pun bingung apa yang harus aku lakukan. Sedangkan anak perempuan yang aku temui tadi persis mempunyai sifat yang sama dengan sifatku, yaitu jauh dari anak yang lain. Mungkinkah itu Teman dalam Masa Depanku?. Dengan tidak berfikir panjang lebar dan dengan kepolosanku, aku pun langsung menantang penjahat itu duel bertarung dengan taruhan 'jika penjahat kalah maka penjahat itu wajib menyerahkan anak-anak yang lain. sedangkan jika aku kalah maka penjahat boleh mengambilku. Para polisi pun hanya menyuruhku jangan kesana tanpa menghalangiku, mencega, atau menahan secara fisik. Padahal aku hanya anak berumur 12 tahun. Tentunya penjahat sangat setuju denga tawaran duelnya. Penjahat itu berfikiran bahwa dengan menangkapku, maka dia dapat menambah sandra yang nantinya dapat menambah uang yang dia dapatkan dengan cara meminta tebusan pada orang tuaku. Akhirnya aku pun berusaha melawan dia. Pukulan demi pukulan aku menerimanya dan belum ada sama sekali pukulan dan tendanganku yang mengenai dia. sungguh sedih. Setelah beberapa menit, aku pun mempunyai ide untuk mengalahkan dia, yaitu dengan cara memanfaatkan lubang di tanah akibat senjata gada yang penjahat bawa akibat pukulan dari sang penjahat. Penjahat itu pun bersiap siaga lari sambil terlihat mengayunkan pemukulnya. Seiring dengan itu, aku pun menyerang terlegih dahulu menuju arah penjahat berdiri dan lubang di depan penjahat itu. Begitu pun penjahat, dia pun berlari juga menuju arahku. Saat hampir berpapasan. Beberapa detik lagi pemukul gada itu mengenaiku, aku pun masuk lubang yang berada tepat di bawah penjahat terhenti berlari. Kebetulan lubang tersebut sangat pas dengan lebar tubuhku dan terlalu kecil untuk lebar kaki si penjahat. Saat aku masuk lubang seketika lubang itu berujung di belakang si penjahat dan aku pun mengambil bongkahan kayu akibat rubuhnya bangunan lalu memukul bagian organ belakang tubuh si penjahat. Akhirnya penjahat itu merasa kesakitan, karena aku memukulnya tanpa henti. Lima menit berlalu, aku pun memenangkan duel itu dan anak-anak yang lain terbebas dari penyandraan si penjahat. Penjahat itu tidak mampu berdiri lagi dan polisi langsung menangkapnya. Anak-anak yang sebelumnya disandra pun menjadi menyukaiku dan tidak lagi mengatakan aku anak aneh tetapi sekarang mereka memanggilku "Anak Pahlawan". Akhirnya aku pun mulai berteman dengan mereka, terutama dengan anak perempuan itu. Aku yakin dia adalah teman masa depanku, teman yang akan selalu membantuku di saat aku melaksanakan tugas sebagai seorang Anak Pahlawan.
{ END }
Tidak ada komentar:
Posting Komentar